Jumat, Januari 11

Tower (part one)


………..

Mengapa sekelilingku hening?

Apa hanya aku yang berpijak di dunia ini?
Entahlah.

Jika iya,
musnahkan aku dari dunia ini.


Selamanya.




XXX



"Ren!" Teriak sembari berlari menjangkau tubuh yang menjauhiku sekarang.
"Untuk apa kamu ikut denganku?" Ia masih tetap berlari.
"Berhenti dalu,Ren!"Masih kuikuti langkahnya.
“Jangan ikuti aku.”
“Ren! Mengapa tindakanmu sangat aneh begini?” cemasku sedikit kambuh,”Mengapa juga kamu membawa tas?”

Ren masih tak bergeming atas apa yang kubicarakan sedari tadi.

Kenapa dia menghindariku? tanyaku dalam hati. Walaupun aku berusaha untuk berhenti mengikuti ke arahnya, namun badanku serasa selalu mengikuti arah yang ia tuju. 

Ingin kemana dia?

Sedikit demi sedikit Ren dan temannya yang kutak tahu namanya menghilang dari hadapanku. Seperti dimakan kabut yang kelam. Dan menusuk.

Hilang?

Tanpa kupikir secara matang, aku asal mengarahkan tubuhku lurus tanpa berbelok. Mungkin hanya memakan waktu tiga menit untuk berlari, kutemukan sebuah tiang setinggi dua meter yang dikelilingi kabut dan terdapat lubang yang mengelilingi tiang tersebut.

Kulihat lubang itu dalam-dalam. tanpa ada ujung di bawah sana. Apa aku harus turun? tanyaku dalam hati. Mungkin ini konyol. Akan tetapi perasaanku mengatakan jika Ren berada dibawah sana. Segera kujatuhkan tubuhku kedalam lubang yang mungkin tanpa ada ujung.

Aku memejamkan mata. Takut? Entah.

Mungkin rasa takut yang menghinggapi di sanubariku. Sedikit mengintip keadaan suhu nol derajat. Sedikit menangkap benda yang tak kusangka sebelumnya. Menara. Ya, Sangat tinggi. Namun menara ini aneh. Aku tersentak ketika memandang menara yang tersusun oleh rumah dan bangunan baru maupun sudah rusak.

Bukan kagum yang merasuk pada pikiranku, namun rasa keraguan pada apa yang kulihat.

Bangunan apa ini? Apa aku pernah mendatanginya sebelumnya? Dan apa seaneh ini?

Dor!
Letusan pistol memekakan telingaku. Bising, namun sangat terdengar jelas. Siapa? tanyaku dalam hati.

Kugenapkan keberanianku untuk menoleh siapa yang berbuat yang kubenci selama ini. Mengenakan jas hitam dan celana hitam, tanpa melupakan pistol yg mengait pada jari-jarinya. Dia membidikku sekali lagi.

Dor!
Tembakan pistol diletuskan lagi. Menggores betisku . Cukup dalam. Seluruh tubuhku merangsang pada satu titik. Betis kananku. Mereka seperti mengincar nyawaku. Ya, mungkin.

"Ah!" Memegang betisku yang mengeluarkan darah segar. Orang berjas tersebut masih mengikutiku. Untuk apa mereka mengincarku?

Disela menyelamatkan diri dari kejaran manusia tak kukenal, suara gemuruh tepat diatas kepalaku meneteskan air satu demi persatu yang kemudian lebih banyak lagi. Lebat. Air seton turun dari langit.

Ku kerahkan tenagaku untuk menjauh darinya dan tumpahan air bah tsunami. Tetapi aku tak kuat lagi kata dalam hati. Nafasku sudah maksimal sampai detik ini.

Apa aku akan mati. Semudah ini?

Mataku berat kubuka. Rasa perih di betisku belum teratasi. Seseorang yang kupunya sekarang sudah meninggalkanku disini. Aku ingin menyerah, Tuhan pintaku dalam hati. Akan tetapi ada bayangan yang buram. Memasangkan sesuatu diwajahku. Dan  membuatku…

XXX


"Kau sudah sadar?" Menatapi gadis yang telah hanyut dari aliran bah yang deras.

Matanya yang sayup sayup menyapu pandangan di ruangan yang berantakan.  Dia sadar? Terima kasih Tuhan, Kau masih memberi dia napas menghela napas lega. Menghapiri tubuh Rin yang masih berbaring dekat tembok.

"Kakiku…" Sembari memegang betisnya yang masih berdarah.
"Sebentar, aku bawa air dan perban." Ren menjauh dari pandanganku tak lama lalu kunjung kembali, ”Tahan sakitnya.”

Tidak ada suara kesakitan dari tenggorokannya, namun sekilas aku melihat alisnya yang sedikit menegas lalu kendur. Tanda dia merintih. Dalam hati tepatnya.

“Jangan menahan sakitnya.” Masih membersihkan luka dari darah.

Ia masih terdiam. Disudut matanya terlihat butiran air bening. Alisnya masih respon dengan luka tembak yang tak menembus ke organnya, namun menggores kulit lumayan dalam. Betisnya kubalut perlahan untuk meminimalisir rasa sakit dibetisnya.

"Ada seseorang yang membawa pistol. Aku takut." Pungkasnya.

Aku berdehem. Tubuhnya gemetaran hebat setelah mengatakan tuan berjas. Mereka memang aneh. Menakutkan lebih tepatnya.

“Mereka mengenakan jas hitam bukan?” Tanyaku tanpa ekspresi.
"Bagaimana kau tahu?"
"Sudah kuberitahu jangan ikut denganku."
"Iya. Aku tahu." Rin bangun dari tempat rebahannya, "Aku khawatir " Suaranya lebih lirih dari biasanya.

Khawatir?

"Maafkan aku,Rin. Ini bukan kehidupanmu sebenarnya."



XXX


Aku melihat dinding yang tak utuh lagi. Retak. Aku masih mengedarkan pandanganku keseluruh ruangan ini. Aku tak mengenal ruangan apa ini. Ini bukan rumahku. Itu pasti.

Ckit!
Sarafku merespon suatu nyeri dibagian alat gerakku. Tetapi aku belum sadar pasti rasa nyeri itu berasal dari alat gerak yang mana. Ini bukan nyeri ditangan ataupun lengan. Melainkan, betis.

“Ah!” Merintih merasakan nyeri.
“Kau sudah sadar?” Tanya Ren dengan senyum simpul namun sedikit raut khawatir yang menghinggapi wajahnya.

Aku dimana? Tanyaku lagi dalam hati. Mengapa aku dapat berada disini? Dan ini bukan lingkunganku. Ini lebih seperti keadaan yang mencekam.

“Kakiku..”
“Sebentar, aku bawa air dan perban.” Ia menghilang sebentar lalu muncul.

Ren terlebih dahulu membasuh luka gores yang ada dibetisku. Cukup lama. 15 menit lamanya. Namun Ren sangat telaten untuk merawat lukaku. Seperti bukan Ren yang kukenal jahil. Melainkan seperti seorang yang ingin melindungi orang yang disayanginya.

Deg!

Sayang? Tandasku dalam hati. Dia bukan seorang yang mudah menyayangi seseorang. Mungkin.

Ren sudah membersihkan lukaku dari darah, kemudian memberi alkohol. Perih. Aku menahan sakit dari alkohol yang sudah meresap kelukaku. Ah!

“Jangan kau tahan.” Ia sudah membalut betisku.

Aku hanya diam untuk menggubris semua ocehan Ren. Sesaat aku melihat Ren yang masih merawat lukaku. Sangat serius. Namun aku tak pernah melihat Ren seserius ini untuk menangani seseorang. Lebih tepatnya menangani gadis yang dingin sepertiku.

Dingin? Aku pernah berpikir dengan kata ‘dingin’. Namun kapan?

“Hei,Rin!” Sapa hangat oleh ren padaku.

Aku hanya menoleh kearah sumber suara yang meneriaki namaku. Aku kenal suara ini. Pasti si pembuat onar. Ren.

“Apa?” Tanyaku singkat.
“Hanya ‘apa’? tak ada ungkapan lain selain itu? ‘selamat pagi’ atau ‘hei juga’.” Ia sedikit mengomentari apa yang kulontarkan barusan.

Aku tak menggubris ocehan yang mungkin tak begitu mengena dibenakku. Ah, omong kosong. Memang omong kosong bagi seseorang yang dingin sepertiku. Itulah Rinzuka.

“Rin!” Teriaknya lagi, “Mungkin kau lebih manis jika kau lebih mengerti perasaan seseorang dan lebih hangat dari sekarang. Jangan seperti putri salju.”

Ah! Aku ingat ingatan itu. Waktu Ren mengatakan ‘Jangan seperti putri salju’. Apa maksud dari putri salju dari perkataan tempo itu. Apa mungkin,

Apa aku kurang peka dengan perasaannya dari dulu?

 Nafasku lebih tersengal dari menit yang lalu. Lebih sesak dari apa yang kuhadapi sehari-hari. Seperti rasa sesal kepada pernyataan seseorang. Tepatnya menyesal tak dapat membalas perasaan Ren.

Maafkan aku,Ren. Sebenarnya aku sudah lama mengenalmu daripada kamu menyapaku waktu pertama kali. Diam-diam aku memperhatikan tingkah keseharianmu walaupun kita dijauhkan oleh satu blok rumah. Aku selalu berjalan dibelakangmu saat pergi ke sekolah. Terkadang aku mendapatimu dekat dengan seorang gadis yang tak kukenal. Terkadang aku iri. Ataupun,

Cemburu.

Tak sadar jika disudut mataku sudah terasa basah oleh butir kilatan airmata. Membasahi kedua pipiku. Dan segera kuhapuskan untuk tak membuat Ren khawatir.

"Ada seseorang yang membawa pistol." Tandasku mengernyitkan alis,”Aku takut.”
“Mereka mengenakan jas hitam, bukan?” Ia bertanya tanpa ekspresi.
"Bagaimana kau tahu?"
"Sudahlah. Aku sudah tahu semuanya. Namun kau masih keras kepala untuk mematuhi apa yang kukatankan. Sudah kubilang jangan ikut denganku." Suaranya sedikit tenggelam namun masih terdengar dari telingaku.
"Aku tahu." Aku bangun dari tempat rebahanku, "Aku khawatir " Suaraku tercekat entah mengapa.

Mungkin ini sebuah pengakuan dariku. Walaupun tak secara langsung. Ren mengertilah perasaanku sekarang.
Tolong.


Jumat, Oktober 12

Tetesan Embun (Part 2)


Tiba-tiba Nagra memelukku,"Nagra?"

***

Satu menit pun berlalu, Nagra melepaskan pelukannya dan menggandeng tanganku. Di antara kita tak ada yang memulai percakapan. Pada waktu ini mulutku tersekap dalam keadaan canggung.
kita berjalan akan tetapi aku tak tahu kita menapak kepada jalan mana. Aku hanya mengikutinya. Ya, Nagra. Dalam sekelebat seseuatu yang ada dipikiranku sekarang yakni surat. hanya terfokus dalam surat ini. Apa mungkin isi surat ini penting untukku maupun Nagra? Entahlah.

Sesampai di depan rumah, ia melambai tangan tanda perpisahan padaku setiap kita berpisah di sini. Aku memasuki rumah bergaya kuno. Ketika menaruh sepatu yang sedari melekat pada kakiku satu setengah jam, aku menemukan tubuh tergeletak di lantai.

"Ibu! Ibu kenepa?" Tanyaku cemas.
Pertanyaanku tak dijawab oleh ibu.
"IBU!!" Aku menggoncang-goncangkan tubuh ibu yang ingin segera sadar. Namun tak ada respon.

Hawa dingin menyelimuti sekelilingku dan tingkatan kecemasanku memuncak. Aku kehilangan akal sehat dalam sekejap. Aku mencari-cari sesuatu di tubuh ibu yang mungkin terlihat mencurigakan. Memang ada. warna lebam di punggung kanan ibu.

"Nagra!" Menteriakkan namanya.
Airmataku sudah mengalir kemana-mana. Help me,Nagra.I need you now! batinku.

Beberapa selang waktu ada suara pintu terbuka. Nagra. Ia datang menghapiri bayanganku.
Ia segera membopong ibuku yang masih tergeletak di lantai,"Arden, ayo!"

Di luar rumah sudah terpampang mobil Ford miliknya. Ia memindahkan tubuh ibuku ke mobilnya.

Di dalam mobil aku masih tertunduk sembari menyeka airmata yang selalu keluar dari mataku. Walaupun sudah berulang-ulang kali kuseka, masih tertuang air yang mengarai ke daguku.

Kadang Nagra melirik melihatku tanpa kugubris. Ia menggenggam tanganku,"Arden,Are you okay?"
Walaupun ia menanyakan keadaanku sekarang ini, pasti ia tahu bagaimana apa yang kurasakan. Ia menggenggam tanganku dengan tangan kirinya sampai kita sudah sampai di rumah sakit.

Aku dan Nagra membopong ibu menuju UGD. Kita menunggu keadaan ibu.

"Arden."Panggil Nagra.
"Ya?"
"Baru kali ini aku melihatmu menangis." Katanya.
"Maaf,Nagra."Kututupi wajahku dengan telapak tanganku.

Aku merasakan sesuatu yang meraih pundakku. Entahlah, aku tak menghiraukannya. Sedikit demi sedikit aku mulai sadar jika Nagra telah memelukku. Walau itu belum juga menenangkan gemuruh di hatiku akan tetapi masih meminimalisir kecemasanku.

"Nagra?"Tanyaku.
"Walau aku tak bisa menghilangkan rasa sakitmu, akan tetapi aku ingin sedikit membantumu."

Mungkin ini sangatlah naif untuk digaris luruskan.
Namun aku menyadarinya.
I love you,Nagra. So damn,Nagra..

***

It hurts because you left
I cried all day but it still hurts again
Though it hurts like this
Though it really hurts
Like a fool, I'm smilling again today..

Huh Gak


"Halo?"
"Arden." Sapanya dari suara nirkabel telepon corak kuno.
"Iya,Nagra?"
"Kamu sudah baca surat dariku?"
"Belum. Kau yang bilang kalau harus ada perintahmu dulu kan?"
"Iya. Menurutmu kamu apa isi dari surat itu?"
"Entahlah."
"Hahaha, Kamu masih sama seperti dulu. Kamu bisa baca sekarang. Selamat siang,Arden."
Tut tut tut.

Aku membalikkan badanku dan menuju ke sumber yang membuat otakku terusik. Aku meraih botol tersebut dan segera membuka tutup botol.

Dengan seksama kupahami makna surat yang kupegang sedari tadi. Seketika air mataku menetes tanpa aku sadari.

Mengapa seperti ini,Tuhan?

***

Teruntuk teman mungilku,
Arden.

Arden. Apa kabar? 

Aku berharap selalu baik baik saja.
Mungkin apa yang kuharapkan ini bukan "baik-baik saja".
Forgive me,Arden :(

Mungkin pada saat kamu membaca ini, kupastikan kalau aku sudah tak berada di kehidupanmu lagi. Maaf,Arden.
Sebenarnya aku tak ingin pergi dari Kota kecil ini. Akan tetapi aku tidak bisa menolak tawaran ayahku .
Aku mohon padamu,Arden , disana janganlah merasa sendiri walau aku tak ada disampingmu lagi.

Aku selalu ada di dekatmu,Arden.  trust me :)

Satu hal yang belum kau ketahui dari dulu.
I love you. more than anything in the world. 

Mungkin takdir masih belum merestui apa yang aku katakan sekaligus kutulis ini.

One more time. I love you,Arden


/FIN/   

Sabtu, Oktober 6

Tetesan Embun (Part 1)

"Ambil surat ini. Jangan buka sebelum aku menyuruhmu."
Aku mengangguk.

***

Hujan yang telah membasahi pucuk talas terlihat teduh seakan menenangkan kepenatan sesaat. Terkadang kenyamanan ini ingin aku hentikan sesaat dan tak ingin aku lanjutkan untuk kehidupan nyata. Suara rintikan hujan itu pun kadang membuat aku tertidur lalu memimpikan sesuatu yang indah.

"Den, ayo makan dulu." Panggil ibu dari lantai dasar.
"Iya,Bu." Sahutku.
 
Segera ke lantai dasar untuk sarapan bersama ibu. Sebelum ke lantai dasar aku membereskan meja yang sedikit berantakan. Di meja tersebut terdapat figura fotoku dengan dia. Iya, dia. Mengambil figura tersebut dan mengelap kaca yang sedikit kotor oleh debu dengan ibujariku. Walau figura ini berukuran kecil namun terdapat seribu makna di dalamnya. Lalu aku meletakkan kembali ditempat semula dan merapikan buku buku tebal yang begitu melekat di kehidupanku.

"Ibu, aku makan ini saja. Aku  berangkat,Bu."
Aku keluar dari singgah sanaku. Berukuran sedang dengan corak bangunan dulu namun masih apik untuk disinggahi. 

"Arden!" Suara lantang ini sangat aku kenal.
"Nagra? Selamat pagi." Jawabku tersenyum padanya.

Pertemuan kita takdir atau apa?

***

When the world turns dark
And the rain quietly falls
Everything is still
Suara kursi yang menghantam tembok terdengar dari lantai dasar menggema sampai ruangan ini. Tempat itu pasti ruang dapur. Sudah seminggu ini keadaan keluarga buruk, spesifiknya sangat teramat buruk. Tanpa kuketahui alasan valid mengapa keluarga ini berada diujung tanduk. Entahlah.
Namun aku mengacuhkan peristiwa yang bertubi-tubi terjadi di keluarga nan kecil ini. Walaupun dulu aku melaknat terjadinya peristiwa ini, toh terjadilah. Tanpa tersadar air mata telah mendarat di kedua pipiku dan segera menyekanya.
Inilah kehidupan nyataku. Pahit.
***
"Hei! Kenapa diam?" Tanyaku.
"Tak ada apa-apa."
"Jangan berbohong! Ahu tahu dari mukamu yang pucat itu."Pancingku.
Tanpa sepatah kata, dia berbalik dan pegi mejauh dari hadapanku. Apa yang terjadi?

Aku menghela napas panjang dan berdiri satu jam lamanya. Aku mengambil tas polkadot sedikit usang pemberian Nagra. Ya, dia seorang lelaki yang masih setiah menemani kehidupan monotonku sejak dua belas tahun silam. Namun...

"Arden!"
Aku menoleh ke belakang dan menangkap bayangan yang kukenal. Nagra?
"Ya?"
"Maaf. Ayo kita pulang." Tersenyum padaku dan pulang bersama.

***

Bentakan ayah yang memekakan gendang telinga saat subuh menyentak nyawa yang masih berkeliaran. Namun bentakan itu diselangi dengan suara isakan. Ibukah?
Emosi yang selalu aku pendam sendiri tak terjamah sedikitpun oleh seseorang sedikit demi sedikit muncul ke permukaan dan tubuhku mengarah pada suara isakan tersebut.

"Ibu? Ibu?" Aku berteriak ke sekelilingku.
Suara isakan yang tadinya keras lambat laun suara tersebut tak terdengar dan lenyap.
"Ibu?!" Teriakanku semakin keras namun tak terbalas oleh suara apapun.

Aku mendapati seseorang wanita berumur kisaran empat puluh tahun berada di ruang tengah. Terpampang jelas jejak buliran air yang melekat pada kedua pipinya. Ibu menutup matanya dengan punggung tangan kanannya. Segera pada tubuh itu dan memeluknya.

"Ibu tak apa?" Aku memastikan keadaanya walaupun sudah tampak jelas keadaanya.
Suara yang lirih sekaligus gemetar,"Tak apa,Nak."

***

Senja.
Jingga bergradasi merah.
Mungkinkah kehidupan seperti warna senja?
Warna yang kalem namun terdapat makna ambigu di dalamnya.
Atau gumpalan awan gemuruh?
Terlihat jelas apa yang terjadi namun sangatlah kejam.
Entah, aku tak tahu menahu akan hal itu. Hanya Dian yang tahu arti sebenarnya...

Arden.


Jendela kamarku memang sengaja kubuka selebar-lebarnya. Memandang jelas keadaan luar. Tetap cantik seperti biasa. Di seberang sana terdapat jendela yang sangat kukenal. Ya, jendela loteng rumah Nagra. Walau sudah tak terlihat baru masih tertuang rasa mostalgia tentang rumah tersebut.
Tiba-tiba jendela yang diam-diam kupandangi sendari tadi terbuka. Nagra membuka jendela rumahnya. Ia tersentak kaget karena bayanganku sudah terpaku di jendela kamarku.

"Arden."Panggilnya tersenyum.
Ia menunjuk ke bawah isyarah keluar. Aku mengiyakan apa yang diperintahkan Nagra padaku.

"Ada apa?" Tanyaku heran.
"Kamu ada waktu besok? Aku ingin bicara sesuatu hal."Tandasnya.
"Memangnya sekarang tak ada waktu untuk bicara?" Sembari tertawa hanya untuk mencairkan keadaan sedikit kaku.
"I'm talking something seriously,Arden." 
"Ya. I can."

***

"Ini apa?" Sebuah surat yang digulung dan ditempatkan pada botol transparan berukuran kecil namun bisa kuambil sewaktu-waktu.
"Pastinya itu surat."
"Kenapa surat? Kita bisa bicara secara langsung bukan?" Aku terheran,"Boleh kubuka sekarang?"Tanyaku memandang botol tersebut.
"Jangan buka sebelum aku menyuruh pada waktu yang tepat."jawabnya tegas.
Aku mengangguk.

Tiba-tiba Nagra memelukku,"Nagra?"



TOBE CONTINUED