………..
Mengapa sekelilingku hening?
Apa hanya aku yang berpijak di dunia
ini?
Entahlah.
Jika iya,
musnahkan aku dari dunia ini.
Selamanya.
XXX
"Ren!" Teriak sembari berlari
menjangkau tubuh yang menjauhiku sekarang.
"Untuk apa kamu ikut denganku?" Ia
masih tetap berlari.
"Berhenti dalu,Ren!"Masih kuikuti
langkahnya.
“Jangan ikuti aku.”
“Ren! Mengapa tindakanmu sangat aneh begini?”
cemasku sedikit kambuh,”Mengapa juga kamu membawa tas?”
Ren masih tak bergeming atas apa yang
kubicarakan sedari tadi.
Kenapa
dia menghindariku? tanyaku dalam hati. Walaupun aku
berusaha untuk berhenti mengikuti ke arahnya, namun badanku serasa selalu
mengikuti arah yang ia tuju.
Ingin
kemana dia?
Sedikit demi sedikit Ren dan temannya yang
kutak tahu namanya menghilang dari hadapanku. Seperti dimakan kabut yang
kelam. Dan menusuk.
Hilang?
Tanpa kupikir secara matang, aku asal
mengarahkan tubuhku lurus tanpa berbelok. Mungkin hanya memakan waktu tiga
menit untuk berlari, kutemukan sebuah tiang setinggi dua meter yang dikelilingi
kabut dan terdapat lubang yang mengelilingi tiang tersebut.
Kulihat lubang itu dalam-dalam. tanpa ada
ujung di bawah sana. Apa
aku harus turun? tanyaku dalam hati. Mungkin ini
konyol. Akan tetapi perasaanku mengatakan jika Ren berada dibawah sana. Segera
kujatuhkan tubuhku kedalam lubang yang mungkin tanpa ada ujung.
Aku memejamkan mata. Takut? Entah.
Mungkin rasa takut yang menghinggapi di
sanubariku. Sedikit mengintip keadaan suhu nol derajat. Sedikit menangkap benda
yang tak kusangka sebelumnya. Menara. Ya, Sangat tinggi. Namun menara ini aneh.
Aku tersentak ketika memandang menara yang tersusun oleh rumah dan bangunan
baru maupun sudah rusak.
Bukan kagum yang merasuk pada pikiranku,
namun rasa keraguan pada apa yang kulihat.
Bangunan apa ini? Apa aku pernah
mendatanginya sebelumnya? Dan apa seaneh ini?
Dor!
Letusan pistol memekakan
telingaku. Bising, namun sangat terdengar jelas. Siapa?
tanyaku dalam hati.
Kugenapkan keberanianku untuk
menoleh siapa yang berbuat yang kubenci selama ini. Mengenakan jas hitam dan
celana hitam, tanpa melupakan pistol yg mengait pada jari-jarinya. Dia
membidikku sekali lagi.
Dor!
Tembakan pistol diletuskan lagi.
Menggores betisku . Cukup dalam. Seluruh tubuhku merangsang pada satu titik.
Betis kananku. Mereka seperti mengincar nyawaku. Ya, mungkin.
"Ah!" Memegang betisku
yang mengeluarkan darah segar. Orang berjas tersebut masih mengikutiku. Untuk
apa mereka mengincarku?
Disela menyelamatkan diri dari
kejaran manusia tak kukenal, suara gemuruh tepat diatas kepalaku meneteskan air
satu demi persatu yang kemudian lebih banyak lagi. Lebat. Air seton turun dari
langit.
Ku kerahkan tenagaku untuk
menjauh darinya dan tumpahan air bah tsunami. Tetapi aku tak kuat lagi kata
dalam hati. Nafasku sudah maksimal sampai detik ini.
Apa aku akan mati. Semudah
ini?
Mataku berat kubuka. Rasa perih
di betisku belum teratasi. Seseorang yang kupunya sekarang sudah meninggalkanku
disini. Aku
ingin menyerah, Tuhan
pintaku dalam hati. Akan tetapi ada bayangan yang buram. Memasangkan sesuatu
diwajahku. Dan membuatku…
XXX
"Kau sudah sadar?" Menatapi
gadis yang telah hanyut dari aliran bah yang deras.
Matanya yang sayup sayup menyapu
pandangan di ruangan yang berantakan.
Dia sadar? Terima kasih Tuhan, Kau masih memberi dia napas menghela napas lega. Menghapiri tubuh
Rin yang masih berbaring dekat tembok.
"Kakiku…" Sembari
memegang betisnya yang masih berdarah.
"Sebentar, aku bawa air dan
perban." Ren menjauh dari pandanganku tak lama lalu kunjung kembali,
”Tahan sakitnya.”
Tidak ada suara kesakitan dari
tenggorokannya, namun sekilas aku melihat alisnya yang sedikit menegas lalu
kendur. Tanda dia merintih. Dalam hati tepatnya.
“Jangan menahan sakitnya.” Masih
membersihkan luka dari darah.
Ia masih terdiam. Disudut matanya
terlihat butiran air bening. Alisnya masih respon dengan luka tembak yang tak
menembus ke organnya, namun menggores kulit lumayan dalam. Betisnya kubalut
perlahan untuk meminimalisir rasa sakit dibetisnya.
"Ada seseorang yang membawa
pistol. Aku takut." Pungkasnya.
Aku berdehem. Tubuhnya gemetaran
hebat setelah mengatakan tuan berjas. Mereka memang aneh. Menakutkan lebih
tepatnya.
“Mereka mengenakan jas hitam
bukan?” Tanyaku tanpa ekspresi.
"Bagaimana kau tahu?"
"Sudah kuberitahu jangan
ikut denganku."
"Iya. Aku tahu." Rin
bangun dari tempat rebahannya, "Aku khawatir " Suaranya lebih lirih
dari biasanya.
Khawatir?
"Maafkan aku,Rin. Ini bukan
kehidupanmu sebenarnya."
XXX
Aku melihat dinding yang tak utuh
lagi. Retak. Aku masih mengedarkan pandanganku keseluruh ruangan ini. Aku tak
mengenal ruangan apa ini. Ini bukan rumahku. Itu pasti.
Ckit!
Sarafku merespon suatu nyeri
dibagian alat gerakku. Tetapi aku belum sadar pasti rasa nyeri itu berasal dari
alat gerak yang mana. Ini bukan nyeri ditangan ataupun lengan. Melainkan,
betis.
“Ah!” Merintih merasakan nyeri.
“Kau sudah sadar?” Tanya Ren
dengan senyum simpul namun sedikit raut khawatir yang menghinggapi wajahnya.
Aku dimana? Tanyaku lagi dalam hati. Mengapa
aku dapat berada disini? Dan ini bukan lingkunganku. Ini lebih seperti keadaan
yang mencekam.
“Kakiku..”
“Sebentar, aku bawa air dan
perban.” Ia menghilang sebentar lalu muncul.
Ren terlebih dahulu membasuh luka
gores yang ada dibetisku. Cukup lama. 15 menit lamanya. Namun Ren sangat
telaten untuk merawat lukaku. Seperti bukan Ren yang kukenal jahil. Melainkan
seperti seorang yang ingin melindungi orang yang disayanginya.
Deg!
Sayang? Tandasku dalam hati. Dia bukan seorang
yang mudah menyayangi seseorang. Mungkin.
Ren sudah membersihkan lukaku
dari darah, kemudian memberi alkohol. Perih. Aku menahan sakit dari alkohol yang
sudah meresap kelukaku. Ah!
“Jangan kau tahan.” Ia sudah
membalut betisku.
Aku hanya diam untuk menggubris
semua ocehan Ren. Sesaat aku melihat Ren yang masih merawat lukaku. Sangat serius.
Namun aku tak pernah melihat Ren seserius ini untuk menangani seseorang. Lebih tepatnya
menangani gadis yang dingin sepertiku.
Dingin? Aku pernah berpikir
dengan kata ‘dingin’. Namun kapan?
“Hei,Rin!”
Sapa hangat oleh ren padaku.
Aku hanya
menoleh kearah sumber suara yang meneriaki namaku. Aku kenal suara ini. Pasti si
pembuat onar. Ren.
“Apa?”
Tanyaku singkat.
“Hanya ‘apa’?
tak ada ungkapan lain selain itu? ‘selamat pagi’ atau ‘hei juga’.” Ia sedikit
mengomentari apa yang kulontarkan barusan.
Aku tak
menggubris ocehan yang mungkin tak begitu mengena dibenakku. Ah, omong kosong.
Memang omong kosong bagi seseorang yang dingin sepertiku. Itulah Rinzuka.
“Rin!”
Teriaknya lagi, “Mungkin kau lebih manis jika kau lebih mengerti perasaan seseorang
dan lebih hangat dari sekarang. Jangan seperti putri salju.”
Ah! Aku ingat ingatan itu. Waktu Ren
mengatakan ‘Jangan seperti putri salju’. Apa maksud dari putri salju dari
perkataan tempo itu. Apa mungkin,
Apa aku kurang peka dengan
perasaannya dari dulu?
Nafasku lebih tersengal dari menit yang lalu. Lebih
sesak dari apa yang kuhadapi sehari-hari. Seperti rasa sesal kepada pernyataan
seseorang. Tepatnya menyesal tak dapat membalas perasaan Ren.
Maafkan aku,Ren. Sebenarnya
aku sudah lama mengenalmu daripada kamu menyapaku waktu pertama kali. Diam-diam
aku memperhatikan tingkah keseharianmu walaupun kita dijauhkan oleh satu blok
rumah. Aku selalu berjalan dibelakangmu saat pergi ke sekolah. Terkadang aku
mendapatimu dekat dengan seorang gadis yang tak kukenal. Terkadang aku iri. Ataupun,
Cemburu.
Tak sadar jika disudut mataku
sudah terasa basah oleh butir kilatan airmata. Membasahi kedua pipiku. Dan segera
kuhapuskan untuk tak membuat Ren khawatir.
"Ada seseorang yang membawa
pistol." Tandasku mengernyitkan alis,”Aku takut.”
“Mereka mengenakan jas hitam,
bukan?” Ia bertanya tanpa ekspresi.
"Bagaimana kau tahu?"
"Sudahlah. Aku sudah tahu
semuanya. Namun kau masih keras kepala untuk mematuhi apa yang kukatankan.
Sudah kubilang jangan ikut denganku." Suaranya sedikit tenggelam namun
masih terdengar dari telingaku.
"Aku tahu." Aku bangun
dari tempat rebahanku, "Aku khawatir " Suaraku tercekat entah
mengapa.
Mungkin ini sebuah pengakuan
dariku. Walaupun tak secara langsung. Ren mengertilah perasaanku sekarang.
Tolong.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar