Sabtu, Oktober 6

Tetesan Embun (Part 1)

"Ambil surat ini. Jangan buka sebelum aku menyuruhmu."
Aku mengangguk.

***

Hujan yang telah membasahi pucuk talas terlihat teduh seakan menenangkan kepenatan sesaat. Terkadang kenyamanan ini ingin aku hentikan sesaat dan tak ingin aku lanjutkan untuk kehidupan nyata. Suara rintikan hujan itu pun kadang membuat aku tertidur lalu memimpikan sesuatu yang indah.

"Den, ayo makan dulu." Panggil ibu dari lantai dasar.
"Iya,Bu." Sahutku.
 
Segera ke lantai dasar untuk sarapan bersama ibu. Sebelum ke lantai dasar aku membereskan meja yang sedikit berantakan. Di meja tersebut terdapat figura fotoku dengan dia. Iya, dia. Mengambil figura tersebut dan mengelap kaca yang sedikit kotor oleh debu dengan ibujariku. Walau figura ini berukuran kecil namun terdapat seribu makna di dalamnya. Lalu aku meletakkan kembali ditempat semula dan merapikan buku buku tebal yang begitu melekat di kehidupanku.

"Ibu, aku makan ini saja. Aku  berangkat,Bu."
Aku keluar dari singgah sanaku. Berukuran sedang dengan corak bangunan dulu namun masih apik untuk disinggahi. 

"Arden!" Suara lantang ini sangat aku kenal.
"Nagra? Selamat pagi." Jawabku tersenyum padanya.

Pertemuan kita takdir atau apa?

***

When the world turns dark
And the rain quietly falls
Everything is still
Suara kursi yang menghantam tembok terdengar dari lantai dasar menggema sampai ruangan ini. Tempat itu pasti ruang dapur. Sudah seminggu ini keadaan keluarga buruk, spesifiknya sangat teramat buruk. Tanpa kuketahui alasan valid mengapa keluarga ini berada diujung tanduk. Entahlah.
Namun aku mengacuhkan peristiwa yang bertubi-tubi terjadi di keluarga nan kecil ini. Walaupun dulu aku melaknat terjadinya peristiwa ini, toh terjadilah. Tanpa tersadar air mata telah mendarat di kedua pipiku dan segera menyekanya.
Inilah kehidupan nyataku. Pahit.
***
"Hei! Kenapa diam?" Tanyaku.
"Tak ada apa-apa."
"Jangan berbohong! Ahu tahu dari mukamu yang pucat itu."Pancingku.
Tanpa sepatah kata, dia berbalik dan pegi mejauh dari hadapanku. Apa yang terjadi?

Aku menghela napas panjang dan berdiri satu jam lamanya. Aku mengambil tas polkadot sedikit usang pemberian Nagra. Ya, dia seorang lelaki yang masih setiah menemani kehidupan monotonku sejak dua belas tahun silam. Namun...

"Arden!"
Aku menoleh ke belakang dan menangkap bayangan yang kukenal. Nagra?
"Ya?"
"Maaf. Ayo kita pulang." Tersenyum padaku dan pulang bersama.

***

Bentakan ayah yang memekakan gendang telinga saat subuh menyentak nyawa yang masih berkeliaran. Namun bentakan itu diselangi dengan suara isakan. Ibukah?
Emosi yang selalu aku pendam sendiri tak terjamah sedikitpun oleh seseorang sedikit demi sedikit muncul ke permukaan dan tubuhku mengarah pada suara isakan tersebut.

"Ibu? Ibu?" Aku berteriak ke sekelilingku.
Suara isakan yang tadinya keras lambat laun suara tersebut tak terdengar dan lenyap.
"Ibu?!" Teriakanku semakin keras namun tak terbalas oleh suara apapun.

Aku mendapati seseorang wanita berumur kisaran empat puluh tahun berada di ruang tengah. Terpampang jelas jejak buliran air yang melekat pada kedua pipinya. Ibu menutup matanya dengan punggung tangan kanannya. Segera pada tubuh itu dan memeluknya.

"Ibu tak apa?" Aku memastikan keadaanya walaupun sudah tampak jelas keadaanya.
Suara yang lirih sekaligus gemetar,"Tak apa,Nak."

***

Senja.
Jingga bergradasi merah.
Mungkinkah kehidupan seperti warna senja?
Warna yang kalem namun terdapat makna ambigu di dalamnya.
Atau gumpalan awan gemuruh?
Terlihat jelas apa yang terjadi namun sangatlah kejam.
Entah, aku tak tahu menahu akan hal itu. Hanya Dian yang tahu arti sebenarnya...

Arden.


Jendela kamarku memang sengaja kubuka selebar-lebarnya. Memandang jelas keadaan luar. Tetap cantik seperti biasa. Di seberang sana terdapat jendela yang sangat kukenal. Ya, jendela loteng rumah Nagra. Walau sudah tak terlihat baru masih tertuang rasa mostalgia tentang rumah tersebut.
Tiba-tiba jendela yang diam-diam kupandangi sendari tadi terbuka. Nagra membuka jendela rumahnya. Ia tersentak kaget karena bayanganku sudah terpaku di jendela kamarku.

"Arden."Panggilnya tersenyum.
Ia menunjuk ke bawah isyarah keluar. Aku mengiyakan apa yang diperintahkan Nagra padaku.

"Ada apa?" Tanyaku heran.
"Kamu ada waktu besok? Aku ingin bicara sesuatu hal."Tandasnya.
"Memangnya sekarang tak ada waktu untuk bicara?" Sembari tertawa hanya untuk mencairkan keadaan sedikit kaku.
"I'm talking something seriously,Arden." 
"Ya. I can."

***

"Ini apa?" Sebuah surat yang digulung dan ditempatkan pada botol transparan berukuran kecil namun bisa kuambil sewaktu-waktu.
"Pastinya itu surat."
"Kenapa surat? Kita bisa bicara secara langsung bukan?" Aku terheran,"Boleh kubuka sekarang?"Tanyaku memandang botol tersebut.
"Jangan buka sebelum aku menyuruh pada waktu yang tepat."jawabnya tegas.
Aku mengangguk.

Tiba-tiba Nagra memelukku,"Nagra?"



TOBE CONTINUED

Tidak ada komentar: